top of page

Usmar Ismail, Pelopor Film Nasional yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional


Usmar Ismail

Tepat tanggal 11 November 2021 kemarin, yang bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional, Usmar Ismail mendapat gelar pahlawan nasional oleh Presiden RI Joko Widodo. Pemberian gelar tersebut dilaksanakan di Istana Bogor, Jawa Barat. Lalu, seperti apa sih sosok Usmar Ismail?


Menyukai Sastra dan Perfilman Sejak Kecil


Usmar Ismail lahir pada 20 Maret 1921 di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ayah beliau bernama Datuk Tumenggung Ismail, guru sekolah kedokteran di Padang dan ibunya bernama Siti Fatimah. Meski lahir di keluarga kedokteran, Usmar tidak mengikuti jejak karier ayahnya.


Justru, ia menyukai bidang yang digeluti oleh kakaknya, Dr. Abu Hanifah, yakni sastra. Sejak kecil, ia menyukai buku-buku sastra dan perfilman Hollywood. Sampai-sampai, di suatu saat, ia terciduk oleh ayahnya karena sering nonton film Hollywood.


Meski begitu, semangatnya tidak luntur, ia sempat keluar diam-diam dengan menyelinap lewat jendala hanya untuk menonton film kesayangannya.


Perjalanan Karier: Sempat Jadi Jurnalis dan Dipenjara


Diketahui, Usmar menempuh pendidikan di HIS (setara SD) di Batusangkar. Lalu, ia melanjutkan ke MULO (setara SMP) di Simpang Haru, Padang. Hingga, ia melancong ke Yogyakarta untuk menempuh pendidikan AMS (setara SMA). Di SMA inilah, ia menekuni bidang perfilman melalui seni teater.


Meski perjuangan pendidikannya cukup mulus, perjuangan Usmar tidak semulus cinta di drama Korea. Setamat AMS, ia bekerja di Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang (Keimin Bunka Sidosho). Selama bekerja, ia berhasil membuat karya-karya berbahasa Melayu, walau isi karya tersebut mayoritas ‘mendewakan’ Jepang.


Mau bagaimana lagi? Saat itu adalah pendudukan Jepang di Indonesia. Perjuangan yang dilakukan oleh Usmar haruslah diam-diam. Ia bersama Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, Sudjojono, H.B. Jassin, dan sastrawan lainnya mendirikan Sandiwara Penggemar Maya tahun 1943. Tujuannya yakni mempropagandakan Jepang demi mencapai kemerdekaan Indonesia.


Setelah Jepang minggat dari Indonesia, ia tetap aktif dalam dunia jurnalistik di Jakarta. Bahkan, ketika Belanda kembali dengan agresi militernya, ia sempat menjadi anggota TNI di Yogyakarta dengan pangkat mayor.


Di dunia jurnalistik, ia bersama Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi mendirikan surat kabar yang bernama Rakyat. Lalu, kariernya juga melejit saat menjadi pendiri dan redaktur harian Patriot, redaktur majalah bulanan Area di Yogyakarta (1948), dan pernah menjadi ketua Persatuan Wartawan Indonesia (1946-1947).


Dalam kisah jurnalistiknya, ia pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh kegiatan subversi saat meliput perindungan Belanda dan Republik Indonesia tahun 1948.


Sepak Terjang di Dunia Perfilman Nasional


Setelah menggeluti bidang jurnalistik, akhirnya Usmar menaruh minat kembali semasa kecilnya dulu, yaitu seni film. Ia pernah menjadi ketua Badan Pemusyarawatan Kebudayaan Yogyakarta (1946-1948) dan ketua Serikat Artis Sandiwara Yogyakarta (1946-1948).


Dari hasil pemikiran dan karya-karyanya itulah, ia berhasil mendapat beasiswa pemerintah di bidang sinematografi dari Universitas California, Los Angeles, Amerika Serikat tahun 1952.


Sepulangnya dari Amerika Serikat, ia menjadi ketua Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta (1955-1965) dan ketua Badan Musyarawah Perfilman Nasional (BMPN). Lalu, ia bersama Djamaluddin Malik mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia dan menjadi ketua (1954-1965).


Salah satu film yang disutradai oleh Usmar Ismail dan menjadi perhatian internasional kala itu ialah Pedjuang. Film ini ditayangkan tahun 1961 di Festival Film Internasional Moskwa ke-2, Rusia. Hal tersebut menjadi film pertama karya anak bangsa yang ditayangkan di luar negeri.


Beberapa film yang disutradarai beliau berhasil ditayangkan. Ditambah, penghargaan seperti Piagam Wijayakusuma (1962), Anugerah Seni (1969), dan sebagainya berhasil diperolehnya.

Terlihat seusai kemerdekaan, kariernya terlihat mulus. Padahal, setahun sebelum kematiannya (1970), ia pernah ditipu oleh produser asal Italia.


Usmar yang kala itu menjabat sebagai direktur Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) mengadakan kerja sama dengan perusahaan film Italia untuk memproduksi film Adventures in Bali. Akan tetapi produksi film tersebut bermasalah yang membuat perusahaannya merugi.


Pada akhirnya, Usmar tetap berjuang mempertahankan Perfini dan menggaji karyawannya, Dalam kondisinya yang kalut, Usmar jatuh sakit dan mengalami pendarahan otak. Kisah hidupnya berakhir pada tanggal 2 Januari 1971 di Jakarta.


Saat ini, ia selalu dikenang melalui karya-karyanya di dunia perfilman dan jurnalistik.

Takarir:


Dalam cerita beliau, Litmin menyimpulkan bahwa perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia tidaklah soal gencatan senjata, tetapi bisa melalui jalur intelektual. Meski terlahir di keluarga terpandang, ia tidak gengsi untuk pro terhadap rakyat yang kala itu masih minim pendidikan dan terus tertindas oleh pihak penjajah. Pemberian gelar pahlawan nasional Litmin rasa itu adalah hal yang pantas bagi perjuangannya di dunia perfilman dan sastra Indonesia.


Terima kasih atas film-filmnya yang menginspirasi film modern di Indonesia.


Berikut beberapa daftar film karya Usmar Ismail:

  1. Harta Karun (1949),

  2. Tjitra (1949),

  3. Darah dan Doa (1950),

  4. Enam Djam di Djogja (1951),

  5. Dosa Tak Berampun (1951),

  6. dll.